By. Lisa AndrianiProf. DR. Priguna Sidharta, alias Sie Pek Giok, demikian ia lebih sering dipanggil, adalah seorang anak pedagang kecil di Losarang, Jawa Barat. Masa kecilnya dilalui dengan kemiskinan, dan juga tekad kuat untuk mendapatkan pendidikan. Kedua orang tuanya sama-sama pekerja keras, namun mereka juga punya kemauan keras untuk menyekolahkan anak-anaknya setinggi mungkin. Sejak SD, Sidharrta sudah hidup terpisah dari orang tuanya karena ia harus bersekolah di Indramayu. Setelah itu ia melanjutkan ke Solo, Jakarta dan menyelesaikan pendidikan dokternya di Fakultas Kedokteran Leiden, Belanda.
Di Leiden, Sidharta dikenal sebagai mahasiswa yang tidak pernah kuliah, namun prestasi akademiknya bagus. Ia tidak kuliah bukan karena malas, namun karena sehari-hari ia harus mencari nafkah, membiayai sekolah serta kehidupannya. Ia bekerja sebagai paramedik di RSJ Endegeest, namun tiap ia punya waktu luang, ia akan berusaha mempelajari semua bahan perkuliahan di FK. Setelah lulus pendidikan dokter, Sidharta bekerja menjadi asisten Prof. Verhaart, yang mengepalai bagian neuroanatomi di Fakultas Kedokteran Leiden. Dari sinilah cintanya kepada neurologi bersemi. Dua tahun setelah lulus dari fakultas, ia meraih gelar doctor dengan tesis yang berjudul, “Localization of The Fibre System within The White Matter of The Medula Oblongata and Cervical Cord in Man.” Tesis ini yang menjadi pintu masuknya untuk menjadi seorang ahli ilmu penyakit saraf yang diakui di dunia. Sidharta menjadi tekenal di kalangan dokter-dokter ahli saraf dan sering diundang untuk memberikan ceramah. Bahkan tesis dan teori ilmiahnya dikutip di dalam buku-buku pengajaran neurologi.
Pada tahun 1958, Sidharta memutuskan untuk pulang ke Indonesia, meninggalkan karir akademisnya yang cemerlang di Leiden, guna memenuhi tawaran Prof. Slamet Iman Santoso untuk memajukan bagian neurologi FK UI. Ia bekerjasama dengan Prof. Mahar Mardjono, kepala bagian neurologi FK UI, yang kelak menjadi partnernya dalam menulis buku-buku pengajaran neurologi mahasiswa kedokteran di Indonesia. Selain mengajar, ia praktek di RSCM dan RS Husada, dan menjadi salah seorang dokter Indonesia yang cukup banyak dicari pasien pada masa itu.
Pada tahun 1962, Sidharta mendapatkan beasiswa Colombo Plan untuk studi pasca sarjana di Montreal, Kanada. Sepanjang tahun 1963, ia bekerja di Montreal Neurological Institute, dan berhasil menerbitkan 6 artikel ilmiah selama masa kerjanya. Pada tahun 1964 ia pulang ke Indonesiadan kembali bekerja di UI. Pada tahun 1967 ia mendapatkan tawaran untuk memajukan bagian neurologi Fakultas Kedokteran University of Malaysia. Setelah 3 tahun di Malaysia, ia kembali ke Indonesia lagi, dan sungguh sayang seribu sayang, kedatangan kembali Sidharta ditolak oleh UI.
Terpaksa Sidharta kembali memulai dari nol. Ia kemudian pindah ke RS Persahabatan dan mendirikan bagian neurologi di situ. Selain di RS Persahabatan, ia kembali membuka praktek pribadi di rumah dan juga berpraktek di RS Husada.
Tahun 1974, SIdharta berpindah ke RS Dharma Jaya. Disana ia berhasil memperbaiki citra RS Dharma Jaya yang dulunya dikenal sebagai rumah sakit gila. Di sini sekaligus ia mulai mendidik para mahasiswa kedokteran FK Atmajaya. Tahun 1978, Sidharta berkonsentrasi untuk memajukan pendidikan dokter di Unika Atmajaya, dan akhirnya pada tahun 1987 ia pun resmi dikukuhkan sebagai guru besar neurologi di FK Unika Atmajaya, gelar yang sebenarnya sudah layak disandangnya sejak bertahun-tahun yang lampau, namun tidak terealisasi karena sentimen dari beberapa rekan sejawatnya.
Demikianlah riwayat singkat Prof. Dr. Priguna Sidharta yang dapat dibaca sendiri dalam otobiografinya. Sebagai kaum intelektual, kadang hidupnya di atas, seperti saat ia meraih sukses dalam akademisnya, namun kadang juga ia merasakan di bawah saat ia disia-siakan oleh pemerintahnya sendiri. Beruntung Sidharta adalah seorang manusia yang punya kemauan keras. Hal itu tercermin dari kata-katanya, “Biar saja saya tidak diberi kesempatan mengajar di UI, tetapi mulai sekarang ini saya bertekad untuk mengajar kepada segenap mahasiswa Fakultas Kedokteran seluruh Indonesia!” Kata-katanya bukan sekedar kata-kata kosong karena ia benar-benar melaksanakannya. Melalui buku-buku neurologi klinis yang ditulisnya, ia benar-benar ‘mengajar’ segenap mahasiswa FK yang membaca buku-bukunya.
Membaca otobiografinya, saya merasakan suatu kebanggaan, karena ternyata dari Negara Indonesia yang kita cintai ini, yang banyak dipandang sebelah mata oleh Negara-negara di benua Eropa dan Amerika, dapat memunculkan seorang Sidharta, yang kecerdasan dan penguasaan ilmunya tak kalah dengan Profesor-profesor dari belahan dunia lain. Seorang Sidharta yang sering mendapat kasus yang tanpa harapan namun dapat membalikkan kondisi pasiennya sehingga pulih seperti sedia kala. Andaikan kita punya cukup segelintir saja dokter ahli seperti Sidharta, tak perlu lah dana kesehatan kita mengalir ke negara tetangga seperti Singapura.
Keharuan juga merebak, tatkala Sidharta yang seharusnya dapat meraih lebih banyak sukses jika meniti karir di Eropa, justru memilih pulang ke Negara kelahirannya yang baru saja terbebas dari penjajahan, guna memajukan pendidikan dan kesehatan Negara Indonesia. Walaupun akhirnya kelak cekalan dan pembatasan dari para rekannya sendiri yang menghalangi langkahnya untuk meraih gelar tertinggi dalam bidang akademis tersebut.
Akhir kata, biarlah menjadi sebuah perenungan, apakah kita dapat mengambil sikap seperti Sidharta, yang tidak menyerah pada kemiskinan, dan terus tekun menuntut ilmu demi tercapainya cita-citanya? Apakah kita dapat bersikap nasionalis, dengan memilih mengabdi pada Negara kita yang miskin dan tidak menghargai kaum peneliti seta intelektualitas, daripada mengabdi di negara lain yang mungkin menjanjikan lebih banyak iming-iming menggiurkan? Apakah kita juga dapat bertindak selaku guru sejati yang tak lelah menularkan ilmu dan kepandaiannya pada orang lain, demi lebih majunya kepentingan bersama, daripada menyimpan ilmu kita sendiri rapat-rapat agar kita tampak paling cemerlang sendiri dibanding dengan yang lainnya? Apakah kita juga dapat tetap menghargai wong cilik walau posisi kita sudah di atas? Mungkin hal-hal di atas yang sedikit banyak membuat kualitas dokter di Indonesia kalah pamor dibanding dengan dokter-dokter Negara tetangga. Betapa tidak, tahun 1967, Sidharta diminta ikut memajukan pendidikan kedokteran di Malaysia di Fakultas Kedokteran Universitas Malaysia yang baru berdiri. Sementara di tahun yang sama, Indonesia sudah banyak memiliki dokter-dokter ahli dan juga pendidikan kedokteran yang lebih maju. Namun mengapa 40 tahun kemudian, pembangunan kesehatan di Negara kita justru tetinggal dibanding pembangunan kesehatan negara tetangga?
Inilah PR bagi kita semua, terutama bagi kita-kita yang berprofesi di bidang kesehatan. Marilah kita bersama bahu membahu membenahi lagi bidang kesehatan kita yang saat ini benar-benar sedang terpuruk (dengan banyaknya kasus malpraktek, korupsi, dll). Jangan lagi mementingkan sentimen pribadi atau perbedaan yang ada antara kita karena sebagai warga Negara Indonesia seutuhnya kita seharusnya lebih mengutamakan kepentingan Negara kita di atas segala kepentingan yang lain. Tunjukkan bahwa Indonesia pun punya banyak Sidharta-sidharta lain yang dapat mengharumkan nama bangsa di tengah kancah dunia internasional.
wah saya juga pake bukunya..
BalasHapusMembaca buku otobiografi itu, saya menemukan banyak hal buat pelajaran hidup. Ketekunan, disiplin diri, pantang menyerah, nasionalisme, bekerja keras.
BalasHapus